Cahaya Siang telah tertutup oleh
cahaya malam, waktu liburan yang singkat membuat kami tidak peduli perjalanan
itu dilakukan malam atau siang. Mobil kami bak kuda perang yang tengah berlari
kencang mengejar musuh di padang terbuka. Sabtu 20 Desember 2014, tepat jam
sepuluh malam kami mengawali perjalanan kami dari Bandung menuju Desa Suka Ratu
Singgaparna Tasik. Disanalah Tuhan Semesta alam menaburkan Kawah Galungggung yang luasnya kurang lebih 275 Km2 berdiameter 500 meter dengan kedalaman 100 - 150 meter.
kami tidak peduli perjalanan kami
akan ditemani hujan atau tidak, yang terpenting bebas dari jeratan pasal asap
kemacetan. Pergi di tengah malam menghindari asap kemacetan, membuat kita
datang kepagian. Deretan bukit, Ladang sawah, Warna – warni kanan & kiri
jalan tidak terlihat. Yang terlihat hanya gulita malam yang di selingi siluet
dari lampu – lampu kendaraan serta lampu
– lampu rumah. Membuat sang pengemudi harus membuka mata lebar – lebar.
Sesekali berpapasan dengan bis, truk yang ugal – ugalan telat sepersekian mili
saja bisa menjadi kecelakaan. Namun disitulah sebuah esensi dari sebuah
perjalanan. Bak sebuah perang di padang terbuka.
Ada sebuah aturan main di Gunung
galunggung yaitu “Larangan Bandung”.
Yaa..! Kami harus menghargai aturan main tersebut ! Ada sebuah cerita,
kabarnya larangan tersebut diperuntukan orang Bandung. Mereka dilarang berada di sekitar Galunggung
setiap hari sabtu. Kabarnya akan terjadi sesuatu pada orang Bandung jika
melanggar aturan main itu Ujar Emang
Amung sesepuh disana. Dengan rasa penasaran saya bertanya lagi soal alasan
mengapa tidak boleh beliau hanya menjawab “ Sejak dulu Memang tidak boleh”.
Sebuah alasan “tidak boleh” menutup obrolan mitos larangan Bandung. Saya
mengalihkan obrolan dengan Emang amung kepada suatu hal yang lebih ringan yaitu
seputar Kupat Tahu Singgaparna.
Emang Amung memaparkan tentang ke khasan
dari kupat Tahu asli singgaparna yaitu rahasinya dari bumbu kacang, kupat dan
jenis kerupuknya yang pengolahannya berbeda. Membuat saya berimajinasi tentang
rasa kupat yang sudah terasa ada dalam mulut dan tenggorokan. Sayangnya pagi –
pagi buta tidak ada penjaja Kupat Tahu, Kami tidak sempat sarapan kupat tahu
melainkan sarapan 603 anak tangga menuju kawah Galunggung. Saat gelap kamera
kami tidak bisa menyimpan moment saat
sarapan 603 anak tangga, jadi kami berpose pada saat cahaya malam tertutup
cahaya pagi.
This is No Elevator, You must walking until the Top. Kami
berjalan kurang lebih setengah jam hingga mencapai bibir kawah. Di temani siluet
yang satu persatu mulai menciut. Menyaksikan sang pemberi harapan dan juga sang
penghancur diterpa sinar mentari. Ya dialah Gunung Galunggung, Gunung berapi
yang masih aktif hingga sekarang. Seringkali ia meluluh lantahkan kehidupan
sekitar oleh laharnya namun kemudian ia kembali memakmurkan kehidupan sekitar.
Gunung galunggung Mati lalu kemudian Hidup,
menyadarkan kita ada sebuah kehidupan setelah mati. Sama seperti cahaya
matahari yang tertidur lalu kemudian terbangun. Akankah kehidupan setelah mati
itu menghangatkan, seperti mentari pagi yang mengubah sendu dingin menjadi
hangat nikmat. Ataukah Kehidupan setelah mati itu Rasanya panas sekali seakan
kita sedang menggendong matahari di punggung kita. Namun dibalik itu semua saya
percaya jiwa manusia itu bisa lebih bersinar dari matahari “Bright Than
Sunshine”.
Mungkin dengan membuat lLLiyyin
kita terisi penuh oleh guratan pena kebaikan dan mengosongkan sijjin kita, Jiwa kita akan lebih bersinar dari matahari. “
Bright Than Sunshine” . Saya tidak tahu ILLiyyin saya yang lebih terisi penuh ataukah Sijjin saya
yang lebih terdapat banyak Goresan Didalamnya.
tangganya keren banget..... :D
ReplyDeletekeren banget.. kmrn mau ke bandung, tpi uang gak ckup. hihi
ReplyDelete