“Lying here, singing my lullaby. Letting time pass me by counting star in the sky and don’t let the bedbugs bite. Just turn of the light make me feel all right. Bidding farewell and goodnight. Lying here, listening my clock tick-tick let me into sweet dreams what do our Teddy bears do ? Just turn of the light make me feel all right. Bidding farewell and goodnight. Outside my window hear sounds of the little fellow. Oh, but I don’t know will they sing until tomorrow.” ( Goodnight song, Mocca )
Ini jam sebelas malam 26 Maret 2015…
lagu pengantar tidur andalan, aku putar berulang–ulang namun tidak berhasil membuatku terpejam. Mungkin mata ini harus di tempeli dengan plester agar terpejam. Sayang sekali jika malam ini hanya aku habiskan untuk melamun. Hampir dua bulan aku tidak menulis apapun banyak sekali tugas kampus yang harus di kerjakan. Sekarang waktu yang tepat untuk berbagi cerita dari pengalaman 21 Febuari lalu.
Oh…iya, ini kedua kalinya aku berkunjung ke Kebun Binatang Taman Sari Bandung, Artinya sudah hampir delapan belas tahun tidak pernah mampir kesini. Orang tuaku adalah pribadi yang kaku, mereka hanya memberi kami jatah liburan yang berbau alam satu tahun sekali. Dan itupun hanya berkunjung kesebuah tempat yang sama setiap tahunnya yaitu ke pemandian air panas. Meski selalu berkunjung ke sebuah tempat yang sama semua terasa menyenangkan saja. Namun ketika aku keluar dari jiwa kanak-kanaku itu terasa sangat membosankan.
Aku dan adik perempuanku merajuk ingin melihat binatang – binatang yang biasa kami saksikan lewat kaca televisi. Walaupun kami sering tidak kompak, untuk kali ini kami kompak sekali merayu orang tua kami. Hari itu kami berdrama menjadi kakak–adik yang tidak pernah berselisih. Walaupun kami sering berselisih bukan berarti kami saling membenci. Aku menyayangi adikku begitu pula ia. Berselisih dan saling menggangu adalah salah satu cara kami mengutarakan rasa sayang. Adiku lebih sering mengalah ketimbang aku, waktu itu usiaku empat tahun & adiku tiga tahun namun ku akui adiku jauh lebih dewasa dariku & sekarang aku sangat merindukannya. Setelah merajuk berhari-hari akhirnya hari yang dinanti tiba juga. Orang tua kami menyerah kepada dua peri kecilnya.
Hmm…sewaktu kami kecil acara binatang–binatang hampir bisa kami saksikan setiap pagi dan sore. Ada kalanya kami tidak berselisih yaitu ketika kami menonton acara televisi binatang–binatang. Ataupun ketika menonton 2 VCD kesukaan kami yaitu “komodo” & “Harimau” yang di belikan Ayah di toko kaset di depan Pasar Sayati. Sayang sekarang toko kaset penuh kenangan itu sudah berganti menjadi ApotIk. Kami senang sekali bisa melihat teman–teman kami secara langsung, biasanya kami hanya bisa melihat lewat layar televisi saja namun akhirnya kami bisa melihat secara langsung.
Tepat jam satu siang aku tiba di kebun Binatang taman Sari Bandung di temani gerimis dan awan mendung. Kedatangan keduaku nampaknya tidak disambut raungan selamat datang dari teman–teman lamaku. Mereka asik tertidur ditengah cuaca 21 derajat cercius. Harimau jantan terbangun dan meregangkan otot–otonya dengan berjalan–jalan sedangkan harimau betina masih tertidur lelap. Macan tutul, harimau Sumatra, harimau jawa mereka semua Nampak kebosanan dan lebih memilih tidur di hari libur kejepit ini, mungkin mereka sama seperti manusia “ingin libur juga”. “Apa kabar dengan teman–teman yang lain ???”
Mereka Nampak tua, kurus, lelah , & bosan, sepertinya insting hewan tak lagi berarti untuk mereka, di dalam ruangan itu mereka tak perlu melatih diri untuk menghadapi ancaman binatang lain. Kasihan sekali teman lamaku ini. Mereka kesepian dan merindukan hutan rimba yang hanya mengenal hukum alam. Melihat Teman–teman lama yang merindukan Hutan rimba. Membuat aku merindukan adiku yang akan sedih jika aku rindukan. Menyenangkan sekali mengingat hal ini. Waktu itu kami sangat riang dan tahu benar cara membuat binatang–binatang ini iri melihat kami bercanda riang penuh kebebasan. Kami menirukan suara hewan, berpura–pura mengerti bahasa hewan dan seolah kamilah yang paling mengerti hewan–hewan ini. Kami bukan anak perempuan yang di didik menjadi anak manja. Kami berlarian penuh semangat melihat teman–teman kami yang terkurung. Kami merajuk kepada kedua orang tua kami ingin bersentuhan langsung dengan teman–teman kami. Kami tidak merasa takut karena kami telah sering melihat mereka, walau Ayah dan Ibu berkata “mereka berbahaya”. Realitas tidak pernah membentur kami, sehingga membuat kami tidak tau apa–apa selain bahagia. Berbekal semangat anak–anak yang tidak takut oleh apapun.
Aku ingat sekali perselisihan kala itu, membuat kami tidak saling bertanya beberapa saat. Kami berselisih meributkan “hewan ini buaya bukan komodo ???”. “Aku bilang ini komodo dan adiku bilang ini adalah buaya”. Ayah menengahi kami dan berkata “Buaya dan komodo bersaudara jadi sama saja” kami tetap keras kepala dengan pemikiran masing–masing. Lalu ayah menengahi lagi “komodo dan buaya tidak pernah berselisih karena mereka bersodara” Seakan tak mau kalah aku menyuruh adiku berdiri tegak di sampingku. Dan aku bilang dengan kepala sekeras batu pada adiku “yang lahirnya lebih dulu & paling tinggi adalah yang benar”.
Kami bukan anak manja yang cengeng, namun kami akan menjadi sangat cengeng ketika mengenal kata berpisah waktu terasa lebih singkat saat itu. Kami enggan untuk pulang dari kebun binatang. Kami mau pulang jika ayah dan ibu membawa pulang raja kera untuku dan kuda zebra untuk adik perempuanku. Perpisahan itu member kami pengalaman baru. Esoknya kami kompak menceritakan kisah hebat itu kepada teman–teman bermain kami, di pelataran rumah sambil bermain congkak kami bercerita penuh semangat. Bahwa kami sudah berkunjung ke kebun binatang.
Persoalan anak kecil hanya soal siapa yang lebih tinggi dan siapa yang larinya lebih cepat. Semoga kita tidak kehilangan semangat masa kecil. Perjalanan kedua ini membawaku pada sebuah ruang yang disebut entah. Meski berkali – kali mengunjungi sebuah tempat yang sama akan selalu menyenangkan jika kita bersyukur atas semua yang kita miliki.
Masih dengan bau yang sama seperti delapan belas tahun yang lalu…
Kawan kami bukan hanya manusia…
Teruntuk Adik Perempuanku,
Almarhumah Selfi Lutfiana
02 : 09
..
Ini jam sebelas malam 26 Maret 2015…
lagu pengantar tidur andalan, aku putar berulang–ulang namun tidak berhasil membuatku terpejam. Mungkin mata ini harus di tempeli dengan plester agar terpejam. Sayang sekali jika malam ini hanya aku habiskan untuk melamun. Hampir dua bulan aku tidak menulis apapun banyak sekali tugas kampus yang harus di kerjakan. Sekarang waktu yang tepat untuk berbagi cerita dari pengalaman 21 Febuari lalu.
Oh…iya, ini kedua kalinya aku berkunjung ke Kebun Binatang Taman Sari Bandung, Artinya sudah hampir delapan belas tahun tidak pernah mampir kesini. Orang tuaku adalah pribadi yang kaku, mereka hanya memberi kami jatah liburan yang berbau alam satu tahun sekali. Dan itupun hanya berkunjung kesebuah tempat yang sama setiap tahunnya yaitu ke pemandian air panas. Meski selalu berkunjung ke sebuah tempat yang sama semua terasa menyenangkan saja. Namun ketika aku keluar dari jiwa kanak-kanaku itu terasa sangat membosankan.
Aku dan adik perempuanku merajuk ingin melihat binatang – binatang yang biasa kami saksikan lewat kaca televisi. Walaupun kami sering tidak kompak, untuk kali ini kami kompak sekali merayu orang tua kami. Hari itu kami berdrama menjadi kakak–adik yang tidak pernah berselisih. Walaupun kami sering berselisih bukan berarti kami saling membenci. Aku menyayangi adikku begitu pula ia. Berselisih dan saling menggangu adalah salah satu cara kami mengutarakan rasa sayang. Adiku lebih sering mengalah ketimbang aku, waktu itu usiaku empat tahun & adiku tiga tahun namun ku akui adiku jauh lebih dewasa dariku & sekarang aku sangat merindukannya. Setelah merajuk berhari-hari akhirnya hari yang dinanti tiba juga. Orang tua kami menyerah kepada dua peri kecilnya.
Hmm…sewaktu kami kecil acara binatang–binatang hampir bisa kami saksikan setiap pagi dan sore. Ada kalanya kami tidak berselisih yaitu ketika kami menonton acara televisi binatang–binatang. Ataupun ketika menonton 2 VCD kesukaan kami yaitu “komodo” & “Harimau” yang di belikan Ayah di toko kaset di depan Pasar Sayati. Sayang sekarang toko kaset penuh kenangan itu sudah berganti menjadi ApotIk. Kami senang sekali bisa melihat teman–teman kami secara langsung, biasanya kami hanya bisa melihat lewat layar televisi saja namun akhirnya kami bisa melihat secara langsung.
Tepat jam satu siang aku tiba di kebun Binatang taman Sari Bandung di temani gerimis dan awan mendung. Kedatangan keduaku nampaknya tidak disambut raungan selamat datang dari teman–teman lamaku. Mereka asik tertidur ditengah cuaca 21 derajat cercius. Harimau jantan terbangun dan meregangkan otot–otonya dengan berjalan–jalan sedangkan harimau betina masih tertidur lelap. Macan tutul, harimau Sumatra, harimau jawa mereka semua Nampak kebosanan dan lebih memilih tidur di hari libur kejepit ini, mungkin mereka sama seperti manusia “ingin libur juga”. “Apa kabar dengan teman–teman yang lain ???”
Mereka Nampak tua, kurus, lelah , & bosan, sepertinya insting hewan tak lagi berarti untuk mereka, di dalam ruangan itu mereka tak perlu melatih diri untuk menghadapi ancaman binatang lain. Kasihan sekali teman lamaku ini. Mereka kesepian dan merindukan hutan rimba yang hanya mengenal hukum alam. Melihat Teman–teman lama yang merindukan Hutan rimba. Membuat aku merindukan adiku yang akan sedih jika aku rindukan. Menyenangkan sekali mengingat hal ini. Waktu itu kami sangat riang dan tahu benar cara membuat binatang–binatang ini iri melihat kami bercanda riang penuh kebebasan. Kami menirukan suara hewan, berpura–pura mengerti bahasa hewan dan seolah kamilah yang paling mengerti hewan–hewan ini. Kami bukan anak perempuan yang di didik menjadi anak manja. Kami berlarian penuh semangat melihat teman–teman kami yang terkurung. Kami merajuk kepada kedua orang tua kami ingin bersentuhan langsung dengan teman–teman kami. Kami tidak merasa takut karena kami telah sering melihat mereka, walau Ayah dan Ibu berkata “mereka berbahaya”. Realitas tidak pernah membentur kami, sehingga membuat kami tidak tau apa–apa selain bahagia. Berbekal semangat anak–anak yang tidak takut oleh apapun.
Aku ingat sekali perselisihan kala itu, membuat kami tidak saling bertanya beberapa saat. Kami berselisih meributkan “hewan ini buaya bukan komodo ???”. “Aku bilang ini komodo dan adiku bilang ini adalah buaya”. Ayah menengahi kami dan berkata “Buaya dan komodo bersaudara jadi sama saja” kami tetap keras kepala dengan pemikiran masing–masing. Lalu ayah menengahi lagi “komodo dan buaya tidak pernah berselisih karena mereka bersodara” Seakan tak mau kalah aku menyuruh adiku berdiri tegak di sampingku. Dan aku bilang dengan kepala sekeras batu pada adiku “yang lahirnya lebih dulu & paling tinggi adalah yang benar”.
Kami bukan anak manja yang cengeng, namun kami akan menjadi sangat cengeng ketika mengenal kata berpisah waktu terasa lebih singkat saat itu. Kami enggan untuk pulang dari kebun binatang. Kami mau pulang jika ayah dan ibu membawa pulang raja kera untuku dan kuda zebra untuk adik perempuanku. Perpisahan itu member kami pengalaman baru. Esoknya kami kompak menceritakan kisah hebat itu kepada teman–teman bermain kami, di pelataran rumah sambil bermain congkak kami bercerita penuh semangat. Bahwa kami sudah berkunjung ke kebun binatang.
Persoalan anak kecil hanya soal siapa yang lebih tinggi dan siapa yang larinya lebih cepat. Semoga kita tidak kehilangan semangat masa kecil. Perjalanan kedua ini membawaku pada sebuah ruang yang disebut entah. Meski berkali – kali mengunjungi sebuah tempat yang sama akan selalu menyenangkan jika kita bersyukur atas semua yang kita miliki.
Masih dengan bau yang sama seperti delapan belas tahun yang lalu…
Kawan kami bukan hanya manusia…
Teruntuk Adik Perempuanku,
Almarhumah Selfi Lutfiana
02 : 09
..
Comments
Post a Comment